Bekerja;
Ritual Menjaga Kelestarian Alam
Dalam memenuhi kebutuhan hidup
manusia membutuhkan sebuah ihtiyar sebagai jalan menggapai kesuksesan. Ia tidak
bisa berpangku tangan begitu saja terhadap takdir saat ini. Manusia harus
memanfaatkan anugerah tuhan seotptimal mungkin. Jika tidak, kemungkinan yang
terjadi adalah frustasi yang berujung kerusakan jiwa.
Beberapa
hari lalu ditemukan sejumlah buruh yang disekap oleh majikannya di tempat
kerjanya. Mereka dipaksa kerja mulai jam enam pagi hingga jam sepuluh malam
tanpa dikasih waktu untuk beribadah. Selain itu, para buruh tersebut
ditempatkan di ruang tidak layak dan kumuh. Mereka tidak bisa berinteraksi
dengan tetangga sekitar. Bahkan menurut salah satu pengakuan mereka, jika
mencoba melarikan diri akan ditembak.
Dilihat
dari segi Antropologi, bekerja merupakan bagian dari kehidupan. Bekerja bukan
hanya mencari uang belaka, namun berguna untuk menjaga kelangsungan hidup di
dunia ini. Sebab salah satu cara untuk eksis hidup yang penuh tantangan ini
tidak lain dengan bekerja.
Pada
tanggal 1 Mei kemarin, dunia internasional memperingati hari buruh sedunia. Peringatan
ini jangan hanya dimaknai sebagai seremonial belaka. Sejatinya, bekerja
merupakan tonggak tetap utuhnya alam raya ini. Perjalanan manusia sejak Nabi Adam
hingga sekarang tidak lepas dari ihtiyar (bekerja) bertahan hidup di
dunia. Andaikan tidak ada ihtiyar di dunia, barangkali alam raya ini
sudah gulungtikar.
Fenomena
putus asa gara-gara beban berat ekonomi keluarga yang berujung pada kematian
bisa menjadi bukti bahwa bekerja salah satu menjaga kehidupan. Kelestarian hidup
yang mandiri, damai, dan nyaman umumnya dapat diperoleh setelah berkerja. Paling
tidak, dengan bekerja bekal saku untuk hidup ke depan sudah terjamin. Sebaliknya
jika hidup dipenuhi dengan penganggura banyak waktu yang terkuras habis dengan
kegiatan tanpa profit.
Inilah
yang barangkali bekerja menjadi sebuah kewajiban bagi orang yang hidup. Walaupun
bekerja bukan tujuan utama hidup, setidaknya bekerja bisa melegakan pikiran
dari kecemasan hidup. Orang menyadari bekerja dianggap sebagai pintu utama
kebahagiaan. Apabila sudah bekerja dengan penghasilan yang banyak, apa saja
bisa dibeli. Dengan begitu kenyamanan hidup pun didapat.
Peristiwa
yang menimpa buruh di atas seharusnya dilihat dari sisi nilai kemanusian. Apa pasal?
Setiap manusia diberi hak hidup di dunia ini. Entah bagaimana caranya, yang
jelas, jalan legal adalah yang diridloi tuhan. Jika kita lihat pertarungan
hidup di masa sekarang, tidak sedikit manusia
yang lupa. Hidup yang penuh saingan ini dimaknai dengan hidup di hutan
belantara. Mereka yang kuat, dialah yang berkuasa.
Kasus
buruh di atas menjadi salah satu contoh yang baru terungkap media. Ketika penjajah
masih menduduki tanah Indonesia, banyak penduduk lokal dipaksa bekerja rodi tanpa
digaji dan diperlakuan tidak baik. Sejarah mencatat, orang-orang terdahulu
berkerja di bawah tekanan penjajah. Mereka yang kebetulan bekerja tidak baik,
akan mendapat siksa fisik sampai kemetian. Perilaku para penjajah dahulu dalam
memaknai bekerja bukan untuk mempertahankan kehidupan, namun untuk sebuah
kepuasan golongan dengan mengorbankan pihak lain. Hal inilah yang kemudian
menjadikan sikap kebinatangan manusia muncul seiring dengan keperkasaan.
Dalam
teologi Islam, setiap manusia diwajibkan untuk berusaha. Tuhan hanya
menyediakan rejeki bagi manusia, dan bukan memberi seketika. Ketika manusia mau
berusaha menjemput rejeki dengan berusaha, maka tuhan akan memberikannya. Usaha
yang dilakukan manusia itu merupakan sebuah pendidikan dari tuhan.
Maka
ketika saya melihat buruh disekap dan diperkejakan secara paksa layaknya
binatang, hal ini sudah keluar dari prinsip kemanusiaan. Pada prinsipnya,
bekerja bukan untuk menindas orang lain, namun untuk mejaga kehidupan. Ketika manusia
sudah sama-sama bekerja, maka garis ligkaran hidup akan tetap terjaga. Tidak heran
apabila ada orang yang nganggur, hidup terasa susah dan berat. Seolah apa yang
dirasakan dari hidup hanya kepayahan belaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar